15 Januari 2008

Perlukah Flora & Fauna Dibela?

Ketika beberapa gelintir orang mulai berusaha menyuarakan nasib flora-fauna yang jarang sekali terwakili, tidak sedikit orang yang akan berceloteh ‘jangan hanya memikirkan satwanya dong, pikirkan juga manusianya‘. Sesungguhnya, haruskah kelestarian flora-fauna dipisahkan dari kepentingan manusia?

Anggapan tersebut memang dapat dipahami ketika kita cukup puas untuk dapat mengatasi gejala-gejala dan akibat, sementara penyakitnya itu sendiri justru dibiarkan. Sudah menjadi pola umum di negeri ini tampaknya ketika kita menerima setiap kenyataan – bahkan yang terjadi akibat kecerobohan kita sendiri - sebagai ‘nasib’ atau ‘takdir’.

Ketika sebuah kecelakaan lalu-lintas terjadi misalnya, kita jarang membedakan mana yang terjadi akibat kecelakaan murni dan kesalahan manusia. Sebagian besar umumnya terjadi karena kesalahan sendiri dan orang lain di jalan, baik dalam bentuk kecerobohan berkendara, keengganan mengecek kondisi kendaraan dan lainnya. Sebagian lain terjadi karena kesalahan pihak lain, misalnya pemerintah yang tidak dapat dapat menegakkan hukum lalu-lintas, atau ketidak-sanggupannya menyediakan sarana dan prasarana transportasi yang memadai, misalnya jalan yang dibiarkan penuh dengan lubang jebakan.

Hal serupa juga terjadi dalam kaitannya dengan hutan dan flora-fauna. Di Sumatra, misalnya sudah seringkali dilaporkan adanya konflik antara manusia dan satwa liar misalnya harimau,gajah dan orangutan. Lalu apa yang terjadi? Yang terjadi adalah sebuah kebingungan sesaat. Selanjutnya, satwa ‘pengganggu’ biasanya ditembak mati atau ditangkap untuk dijinakkan dan dibiarkan mati secara perlahan.

Dengan melakukan hal tersebut, kita sebetulnya telah mengingkari komitmen kita sendiri. Pasalnya, beberapa jenis satwa tersebut karena keunikan dan perannya dalam kehidupan di bumi, telah kita tetapkan sendiri sebagai jenis yang dilindungi undang-undang.


Proses semacam ini selalu berlangsung tanpa usaha yang lebih menyeluruh untuk memenangkan manusia sekaligus satwa.

Sebagai akibatnya, tidak heran kalau populasi satwa liar di Sumatra terus menurun dan sebarannya menyempit tinggal di hutan-hutan yang tersisa. Gajah misalnya, yang di Propinsi Lampung awal tahun ’80-an masih bisa ditemukan di setiap kabupaten, sebarannya kini telah menciut tinggal di hutan-hutan konservasi yang tersisa seperti di Taman Nasional Way Kambas dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Itupun, karena manusia yang terus mendesak hutan tempat hidup gajah, konflik dengan manusia terus terjadi. Demikian pula halnya dengan harimau, badak, orangutan dan lainnya. Mengapa ini terjadi?


***


Kerusakan hutan sebagai pemicu konflik satwa-manusia terjadi oleh banyak hal. Salah satunya adalah karena kita telah terjebak untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan sumberdaya alam sebagai bahan bakarnya. Hal itu dilakukan dengan melakukan ekploitasi habis-habisan sumberdaya alam, khususnya hutan, yang kita miliki tanpa pertimbangan yang matang tentang kesinambungannya. Akibatnya, bencana demi bencana kini mulai kita tuai. Mulai dari konflik satwa-manusia di sana-sini, bencana longsor, dan yang terakhir banjir bandang yang menelan banyak jiwa di Bohorok. Lalu bagaimana cara kita mengatasinya?

Sebenarnya sudah terlambat, namun ada baiknya kita memulai melihat permasalahannya secara lebih komprehensif. Selalu mengalahkan kepentingan satwa bukanlah solusi terbaik, karena masyarakat jugalah yang pada akhirnya akan dirugikan.

Ada hal yang menarik dari lokakarya “Mencari Solusi Terbaik Permasalahan Hutan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam -NAD” yang diselenggarakan di Banda Aceh oleh Flora-Fauna International (FFI) bekerjasama dengan INFORM dan beberapa lembaga lain baru-baru ini. Bekerjasama dengan masyarakat, peneliti dari FFI melakukan pemetaan daerah sebaran gajah dan mengidentifikasi daerah-daerah yang rawan konflik satwa-manusia. Bersamaan dengan itu dilakukan pula studi atas pemicu konflik yang terjadi. Antara lain, teridentifikasi bahwa konflik terjadi akibat rusaknya hutan yang merupakan daerah jelajah gajah. Kerusakan tersebut rupanya terjadi karena ketika mengeluarkan ijin pengusahaan hutan, pembukaan perkebunan, pembukaan daerah pemukiman baru dan lainnya, pemerintah tidak mempertimbangkan aspek lingkungan seperti pengamanan daerah jelajah gajah. Tidak heran, gajah yang kehilangan tempat hidupnya akhirnya secara rutin mengunjungi dan merusak tanaman masyarakat.


Sadar akan perlunya berbagai pihak untuk duduk bersama, FFI kemudian menfasilitasi pertemuan antara para kepala adat dan mukim dengan jajaran pemerintah daerah. Menariknya, hutan yang diidentifikasi sebagai daerah sebaran gajah rupanya juga diketahui berperan penting sebagai daerah tangkapan air di Propinsi NAD. Daerah ini kebanyakan terletak di bagian Barat Aceh yang merupakan bagian dari deretan Bukit Barisan. Para kepala adat dan mukim, serta wakil dari pemerintah daerah yang hadir telah menyepakati untuk melindungi daerah tersebut dari berbagai macam pengrusakan.

Meski agak terlambat, sebuah tonggak awal yang baik telah ditancapkan. Nangroe Aceh Darusalam sebagai propinsi yang memiliki hutan terluas di Sumatra memang sudah seharusnya belajar dari kegagalan banyak propinsi di pulau itu dalam membangun sumberdaya alamnya. Sementara itu, banyak tempat lain harus mulai mengambil tindakan untuk membangun sumberdaya alamnya yang mulai pudar. Dengan demikian, kepentingan satwa dan manusia tidak perlu diperdebatkan. Kalau mau, kita dapat hidup harmonis dengan alam.

(Penulis : Sunarto, Staff Conservation International Indonesia )

Tidak ada komentar: